fbpx Social Enterprise Du Anyam: Menganyam Mimpi Wanita NTT | Qlapa

Du Anyam, Menganyam Mimpi Wanita di NTT [Qlapa]

Posted by Januari 26, 2017
Thumbnail

As featured on Qlapa, 26 January 2017 | Social Enterprise Du Anyam, Menganyam Mimpi Wanita di NTT

Menciptakan produk berkualitas & meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar adalah dua hal yang berusaha dibangun lewat social enteprise Du Anyam. Sebagai salah satu kerajinan tradisional, anyaman memang sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Selain bahannya yang alami, produk turunan dari anyaman juga sangat banyak, contohnya saja tikar, keranjang, tas, dan lain-lain. Di beberapa daerah di Tanah Air, kemampuan menganyam bahkan diajarkan secara turun-temurun.

Salah satu daerah yang penduduknya memiliki kemahiran dalam menganyam adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun sayang kerajinan ini sempat ‘terlupakan’ dan hanya ibu-ibu paruh baya yang memiliki kemampuan menganyam. Pada 2015, kerajinan menganyam ini kembali dibangkitkan oleh Hana Keraf dan kawan-kawan.

Berawal dari Masalah Sosial

Latar belakang Hana yang sempat bekerja di sebuah Non Government Organization (NGO) di NTT membuatnya cukup mengenal wilayah tersebut. Di sana ia menemukan bahwa masalah kesehatan pada ibu dan anak cukup memprihatinkan, bahkan di sana juga merupakan wilayah dengan kasus kematian ibu dan anak tertinggi. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya tingkat sosial ekonomi. Meskipun pemerintah dan beberapa NGO telah menggalakan program kesehatan gratis, nyatanya ada saja gap yang membuat masyarakat tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan. Salah satunya adalah para ibu yang ternyata tidak memiliki uang cash untuk sehari-hari. “Untuk bisa berobat ke Puskesmas kan harus punya fotokopi KTP, nah mereka uang seribu rupiah aja untuk fotokopi nggak ada,” ujar Hana yang orang tuanya lahir di NTT.

Untuk menjawab masalah ini, dipilihlah model bisnis kewirausahaan sosial yang berkelanjutan. Hanna bersama dengan Azalea Ayuningtyas, Melia Winata, dan Zona Ngadiman membangun sebuah social entrepreneurship bernama Du Anyam.

“Dalam bahasa Flores, Du’a berarti ibu, sehingga Du Anyam bermakna ibu yang menganyam.”

Du Anyam adalah sebuah kewirausahaan sosial yang mengusung peran aktif dalam mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak yang terjadi di NTT. Lewat Du Anyam, Hanna dan teman-temannya menggandeng para ibu dan wanita di daerah NTT untuk menganyam daun lontar sebagai satu alternatif pendapatan tambahan dari sekadar berladang.

Proses Produksi di Dua Daerah

Di lini produksi, Du Anyam memiliki dua wilayah. Pertama di NTT sebagai pusat pengolahan raw material, kemudian Jakarta sebagai kantor utama dan tempat workshop. Bahan setengah jadi berupa hasil anyaman dikirim ke Jakarta untuk diolah menjadi ragam produk, seperti tas, souvenir, dan produk kerajinan lain berbahan daun lontar.

duanyam

Dari segi desain, meski menggunakan bahan alami namun produk yang dihasilkan Du Anyam bergaya modern dan tidak ketinggalan zaman. Hal ini juga berkat masukan dari tim Du Anyam pada para ibu penganyam. Hana juga menambahkan, bahwa Du Anyam tak ingin dikenal semata karena menjual kemiskinan dari NTT. “ Kami ingin Du Anyam dikenal karena memang kualitas dan desain produknya yang bagus.”

Hasil produksi Du Anyam sebagian besar dipesan oleh hotel-hotel, dan juga dijual secara online salah satunya di Qlapa.

Weaving A Better Generation

Meski tergolong social enterprise yang masih muda, namun kini Du Anyam memiliki kurang lebih 300 ibu dan wanita penganyam dari 16 desa di NTT. Tentunya angka tersebut buah keringat mereka selama 4 tahun terakhir. Hal ini yang diamini Hanna sebagai sebuah achievement atas apa yang ia lakukan sejauh ini. Para ibu dan wanita kini sudah memiliki pendapatan lebih selain berkeringat di ladang pertanian. Di sela waktu, atau dalam kondisi mengandung, mereka dapat menganyam.

Namun, jauh sebelum semua itu tercapai, Hanna membagi sedikit ceritanya saat membangun social enterprise Du Anyam. Berbekal 16 pengrajin di tahun 2013, ia dan temannya terus melakukan inovasi serta mengedukasi para penganyam agar kualitas produk yang dihasilkan tetap terjaga. Dari 16 ibu-ibu pertama yang bergabung, hampir semuanya menginjak usia 40 tahun ke atas, dan kini semakin banyak perempuan muda menjadi pengrajin Du Anyam. “Semakin banyak perempuan muda yang ikut. Walaupun tidak bisa menganyam, justru kita lebih senang. Kita ajarkan keahlian dasar ke mereka. Selain memberdayakan perempuan, In a way kita membantu pelestarian budaya.”

Dengan keberadaan Du Anyam, perlahan keadaan ekonomi para ibu pengayam juga mengalami perbaikan. “Setelah penjualan pertama kami di bulan September 2015, peningkatan ekonomi ibu dan wanita cukup meningkat. Dari yang sebelumnya hanya bertani dengan pendapatan per tahun sekitar Rp6-8 juta, kini para ibu dan wanita bisa mendapat Rp100 ribu sampai Rp200 ribu per minggu,” tutur Hanna.

Tidak berhenti sampai di situ. Sebagian hasil dari penjualan produk pun digunakan untuk memperbaiki dan memenuhi kebutuhan pangan sehat para ibu dan anak. “Sebagian pendapatan mereka disisihkan untuk membangun kandang ayam contohnya. Itu bertujuan untuk memberikan nutrisi protein dari telur kepada para penganyam,” jelas Hanna.

Ia melanjutkan ceritanya. Perubahan lain yang dilihat seiring berjalannya Du Anyam adalah perilaku para ibu yang kini mulai berubah. Mereka mulai berani bersuara karena sudah bisa lebih mandiri. Mendapat penghasilan lebih. “Kita lihat dari beberapa kasus, ibu-ibu kita sekarang jadi lebih percaya diri, lebih bisa mengambil keputusan untuk anak-anaknya, yang sebelumnya dipegang penuh oleh suaminya,” kata Hanna. “Weaving a better generation,” sambungnya.

Aspek Bisnis dan Sosial yang Sejalan

Saat ini ada 2 proyek yang dijalankan Du Anyam, yakni project bisnis dan sosial, begitu mereka menyebutnya. Untuk sosial, mereka sedang menjalankan program peningkatan gizi untuk para ibu dan wanita yang menganyam. Jika mereka menganyam di Du Anyam, sebagian pendapatan mereka akan disisihkan untuk pembangunan kandang ayam. Kemudian, mereka juga berkolaborasi dengan program pemerintah, seperti tabungan bersalin maupun pemberian makan tambahan.

Sementara untuk proyek bisnis, Hanna dan teman-temannya sedang memikirkan ekspansi ke daerah lain untuk produk anyamnya. Mereka melakukan kerja sama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melebarkan sayap ke Papua, yang terkenal dengan anyaman kulit kayu. Pun juga bekerja sama dengan pihak lain untuk memperluas jaringan hingga ke Lombok.

“Dengan ekspansi ke daerah lain, kita akan punya hasil produk yang berbeda juga. Produk kita akan lebih banyak, gak cuma daun lontar. Karena daun lontar sendiri punya baik dan buruknya untuk beberapa desain,” tutur Hanna.

Selain itu, langkah bisnis di tahun 2017 ini, social enterprise Du Anyam juga akan lebih fokus meningkatkan kolaborasi dengan brand-brand lokal di Indonesia dan mencoba untuk mengekspor produk ke Jepang.

Link: https://qlapa.com/duanyam/story